Kamis, 12 Juli 2018

Identitas diri, (Agama,suku dan warga dunia) dalam memaknai keragaman


Oleh : Riyan Betra Delza




Sebagai warga negara dalam sebuah bangsa yang besar yang dikarunia oleh nikmat suku, bahasa, dan agama tentunya hal ini membuat kita bersyukur dengan adanya anugerah tersebut. Tidak banyak warga bangsa lain memiliki anugerah yang begitu complete seperti ini. Masalah bahasa saja, kita mempunyai 742 jenis bahasa dan mempunyai 1.340 suku dan memiliki 300 kelompok etnis (sumber data sensus BPS 2015) .

Dari berbagai bentuk keragaman tersebut tentunya ada banyak peran dan tanggung jawab  yang disandang oleh bangsa Indonesia, disatu sisi ia adalah bagian dari pemeluk suatu kepercayaan (agama), disatu sisi ia juga bagian dari suku tertentu, dan disisi lain ia juga sebagai warga negara yang berpijak pada idelogi bangsa, pancasila dan UUD 1945 dan diranah yang lebih makro ia juga bagian dari warga dunia.

Maka tidak salah kiranya  komentar Samuel Hutington pada abad ke 20, ia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berpotensi paling besar hancur setelah Uni soviet dan yogoslavia. Demikan juga apa yang di sampaikan oleh Antropolog Cliford Gertz , ia mengatakan jika Indonesia tidak berpandai-pandai memenajemen keberagaman etnik, budaya, solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.

Oleh karena itu penting rasanya memperkuat identitas diri kita dengan cara benar-benar menempatkan diri ditengah panasnya suhu keragaman ini. Pertama karena identitas diri kita sebgai pemeluk agama tentunya persoalan keagamaan di selesaikan diranah-ranah privat, dan masing-masing pemeluk agama mesti sadar betul dengan keadaan ini. Salah satunya benar-benar menghormati dengan mempertajam sifat toleransi, dalam arti kata, hal-hal yang bersangkutan dengan ajaran keagamaan yang mempunyai hak atas itulah yang berhak menyelesaikan ketika ada pertikaian.

Salah satu faktor utama konflik keagamaan adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang masih ekslusif. Pemahaman keberagamaan ini membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya adalah salah dan bahkan dianggap sesat. Karena itu, perlu dibangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusifpluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantive.

Tidak boleh terprovokasi dengan isu yang terkontaminasi oleh kepentingan-kepentiingan praktis. Jikapun ada mesti hal itu di lakukan dengan cara-cara yang elok tetapi tetap dalam bungkusan ranah privat misal, persoalan muslim diselesaikan di ranahnya muslim, nasrani, hindu, budha juga seperti itu. Tidak boleh mencampuri hak-hak beragama baik itu dalam konteks dakwah, atau ajaran bagii setiap pemelauk agama, kecuali hal-hal yang dibahas pada forum akademis.

Kedua identitas sebagai bagian dari anggota suku tertentu, Terbentuknya komunitas bernama masyarakat adalah implikasi logis dari realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo socious (makhluk bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Dalam pandangan (Koentjaraningrat, 1990, p. 138), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi.

Dalam keadaan itulah di Indonesia penting kiranya kita mengingat kembali dari sejuknya semboyan “bhineka tunggal Ika” artinya apa, persolan budaya (suku) kita selesesaikan dengan semangat nasional. Walaupun kita berbeda suku tapi seyogyanya kita adalah bagian dari sebuah bangsa yang mengikraran persatuannya. mengingat kenyataan bahwa dengan semangat kebhinnekaanlah, negara ini hanya bisa bertahan dalam persatuan.

 Penting rasanya menghormati kemandirian daerah dengan keleluasaan menjalankan kegiatan kesukuannya tanpa ada rasa kecemburuan yang mendalam dengan selalu mengedapankan rasa solidaritas.

Ketiga identitas sebagai warga dunia, sebagai warga negara dari sebuah bangsa, kita juga merupakan warga dunia. Jika kita ingat terbentuknya NKRI ini tidak terlepas dari bantuan dari saudara kita yang berada di negara-negara lain. Ketika ada persoalan yang menyangkut kemanusiaan, lintas negara kita harus memberikan bantuan semampu yang kita bisa. Sebagai wujud dari bentuk solidaritas sekaligus identitas diri. Dalam UUD 1945  juga di tulis bahwa “penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” hal ini kembali mengingatkan kita bahwa selain tanggung jawab nasional kita sebagai warga bangsa Indonesia juga  memilki tanggung jawab internasional, untuk mewujudkan peradaban yang adil, aman, tentram dan sejahtera.

Semoga dengan mengingat kembali identitas diri, tanggung jawab social kita bisa menciptakan sebuah peradaban global yang BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR.

Selasa, 03 Juli 2018

MAHASISWA ERA MILENIAL : INDIVIDUALISME DALAM HUMANISME





Generasi milenial atau sering di sebut juga dengan generasi Y yang lahir antara tahun 1980an – 2000an, dalam beberapa buku yang di tulis oleh William Strauss dan Neil Howe.  Seiring dengan berkembangnya zaman, tanpa kita sadari perkembangan teknologi sangatlah pesat, apalagi di era saat ini, setiap manusia ingin melakukan kegiatan dengan cara yang praktis. Hal ini tidak mampu di sangkal lagi apabila perusahaan yang berbasis teknologi komunikasi juga ikut membantu percepatan perkembangan teknoogi di era milenial seperti saat ini salah satunya adalah memproduksi gadget dan mengembangkan internet.
Namun siapa sangka, dengan pesatnya perkembangan teknologi malah membuat masyarakat (khususnya remaja, pelajar, dan mahasiswa) menjadi terlena akan indahnya dunia maya. Di jelaskan oleh erricson bahwa generasi milenial lebih cenderung suka bermain di dunia internet seperti streaming youtube, facebook, instagram dll. Di tahun 2011 mereka  Erricson melakukan penelitian dan melibatkan sebanyak 4000 remaja usia 16-19 tahun dari 24 negara.
Dan hasilnya di tahun tersebut sekitar 7 persen remaja lebih sering menikmati youtube dibanding berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Di tambah lagi durasi bermain internet yang cukup lama mengakibatkan para remaja terlena akan kehidupan dunia nyata. 4 tahun berselang, erricson mengungkapkan bahwa interaksi remaja dengan internet meningkat menjadi 20% dan durasi waktu bermain 3 kali lipat lebih lama dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan ini mengakibatkan kekhawatiran bagi setiap orang tua maupun masyarakat, bagaimana tidak. Jika setiap remaja hanya menikmati dunia maya tanpa mengikuti perkembangan dunia nyata di sekeliling maka besar kemungkinan mereka akan menjadi lebih individualis dan tidak akan peduli tentang apapun.
Lebih parahnya lagi, dampak negatif dari segi psikologi akan kecanduan gadget adalah mengurangi interaksi dengan manusia lain.
Tanpa disadari menggunakannya gadget terlalu sering malah membuat interaksi sosial di dunia nyata semakin berkurang. Terlalu fokus menggunakan gadget membuat orang tidak mudah melihat dan empati kepada lingkungan di sekitarnya. Sehingga mampu menimbulkan sifat egoisme bagi setiap pelaku.
Sebagai contoh di negara kita akibat dampak negatif gadget, banyak mahasiswa yang sudah di lenakan akan nikmatnya dunia maya. Mereka lebih senang menghabiskan waktu mereka di depan layar persegi panjang miliknya. Lebih senang bermain media sosial dibanding membaca dan berdiskusi. Sekarang sudah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa melakukan analisa sosial, isu-isu terkini baik dari segi politik, agama, ekonomi dll. Karena banyak penguasa-penguasa brengsek yang memanfaatkan kelemahan generasi milenial untuk kepentingan pribadi.
Bojonegoro, 03 juli 2018
Penulis :Arif Hakim