Kamis, 15 Maret 2018

PEMILU DAN FANATISME AGAMA






Oleh : Riyan Betra Delza
Direktur FK Institute

Hal rutin yang selalu menjadi isu-isu dramatis pada pesta pemilu, yang paling utama menurut saya adalah menguatnya rasa sensitifitas kepada rivalitas yang dibalut dengan bingkai  agama.

 Pilkada yang seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi yang didedikasikan untuk mencari pemimpin terbaik, berubah wujud  menjadi panggung transaksionalyang cacat moral sehingga melahirkan budaya yang rasis, agamais (fanatik) untuk menolak pemimpin yang tidak sekeyakinan dengan nya ataupun yang dianggapnya tidak memenuhi standard orang beragama menurut keyakinannya.

Fenomena tersebut bukan suatu hal yang baru dalam kontestasi pilkada di Indonesia, dan saya pikir hal itu sudah menjadi semacam budaya kompetisi demokrasi di Tanah air kita ini. Nah Apabila kita ingin melihat lebih jauh apa yang menjadi penyebab hal tersebut muncul, menurut saya adalah tidak mampunya para kompetitor tersebut memaknai sebuah drama demokrasi dengan skenario yang adil dan beradab yang di serukan Pancasila tersebut.

Di era milenial ini Fanatisme agama dalam tanda kutip claim kebenaran sepihak, bisa menjadi masalah yang serius  bagi bangsa kita yang masih muda dalam berdemokrasi. Apalagi fungsi Fanatisme agama, cenderung digunakan  secara aktif untuk kepentingan pollitik praktis para elit dalampemenangan calon-calon yang didukungnya dipilkada. Cara tersebut dinilai sangat ampuh sebagai virus akut yang sejatinya bisa menjaring masa dengan sebanyak-banyaknya.

Sehingga dengan cara cacad moral tersebut munculah gesekan-gesekan dari berbagai kalangan dan golongan yang merasa dirugikan oleh virus-virus claim sepihak tersebut. Akibatnya pilkada yang seharusnya dihujani dengan materi-materi yang mencerdaskan, berubah tajam menjadi suasana yang penuh hujatan, tipu muslihat dan kadang berujung anarkis dengan bentrok dan pengrusakan.

 Apabila fenomena ini berlanjut, maka Indonesia akan rapuh dalam memaknai keberagaman dan keberagamaan yang berujung pada krisis toleransi, dan akan mudah berpecah belah  karna terlalu susahnya mewujudakan dan perdamaian antar sesama, dan antar pemeluk  agama.
Apalagi Pada tahun tahun 2018 ini akan diadakan Pilgub beberapa Provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan. Belum lagi di Tahun 2019 yang akan mengadakan Pileg dan Pilpres. Pertanyaan yang akan muncul, apakah pada Pemilu nanti tidak akan ada lagi isu syara yang di tunggangi oleh fanatisme agama (claim kebenaran sepihak) ?
Rasanya, akan sangat sulit lepas dari  kebiasaan lama tersebut, karna para sebagian politisi kita masih belum memiliki mental yang bagus dalam berkompetisi.

  Apabila keadaan dan kebiasaan seperti itu terus berlanjut, akan seperti apa demokrasi kita kedepan nanti, yang penuh dengan dramatisasi haram terebut.  Sungguh tragis bukan, budaya baku hantam, akan terus diwarisi oleh penerus bangsa ini kedapan.

Apalagi dengan keadaan generasi muda kita yang masih labil dan apatis terhadap yang namanya keberagaman dan keberagamaan tersebut. Saya tidak bisa membayangkan jika penyakit fanatisme( claim kebenaran sepihak)  ini sampai kepada titik nadir yang pada akhirnya mesti meminta tumbal terhadap kelangsungan bertahan hidup dan bertahtanya para penguasa dzolim.
Nah Apa yang seharus kita lakukan ?

 Berbicara persoalan agama tentu yang menjadi elemen penting adalah keyakinan (akidah) bagi setiap pemeluknya. Peran  tokoh-tokoh agama sebagai pemegang kunci yang sangat penting dalam  meredam fanatisme agama dengan memberikan pencerahan-pencerahan yang sesuai dengan tuntunan wahyu, dengan selalu  mengedapankan nilai-nilai toleransi, kemanusian, dan lain sebagainya tentu sangat dibutuhkan adanya.

Namun Jangan sesekali pula para pemuka agama memanfaatkan moment tersebut dalam agenda yang negative contoh, katakanlah ustad dan lain-lain tersebut juga terlibat politik praktis, dengan mempelesetkan wahyu untuk merauk keuntungan dari pasangan calon yang didukung. Tentu hal tersebut akan membuat masyarakat semakin bingung, dan tersesat.

Untuk itu perlu kekonsitenan para pemuka agama, bahwa selalulah menjunjung tinggi fungsinya sebagai penyampai kebenaran, dan tetap berjalan di koridornya sebagai pendakwah, dan penentram ummat.
Selain fungsinya secara global sebagai penentram ummat,  tentunya bimbingan  ulama juga sangat dibutuhkan kepada para politisi agar bisa berkompetisi dengan tetap menjunjung tinggi makna toleransi dan adab yang baik dengan cara  memberikan bimbingan spritualitas.

 Apabila itu berhasi dilakukan maka akan terwujud politisi yang bisa memberikan contoh berdemokrasi yang baik dengan menang melalui cara-cara yang berkeadaban sehingga image pemilu sebagai perpecahan dikarenakan fanatisme agama, akan memudar dan hilang.

Semoga di Pemilu yang akan kita hadapi ini, masalah agama sebagai kendaraan perpecahan bisa kita redam dan kita hilangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar