Minggu, 11 Maret 2018

RUANG PUBLIK



Oleh: Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya, S.Ag, M.Si Penarukan, 13 September 1989 Dosen FISIP UNMAR Denpasar




                  

 Sumber Ilustrasi Dari Pikiran rakyat.com

Antara Terpleset dan Terasing
Pergulatan antara kematian subjek dan peran aktif agen, struktur dengan kultur dalam pemaknaan serta pembentukan segala bentuk aksi di arena sosial diberikan mediasi oleh filsuf kontemporer yang memiliki ciri anti-fundasionalisme.

Salah satunya adalah Habermas yang menelurkan konsep Ruang Publik sebagai bentuk aksi komunikasi dalam pembentukan struktur.

Agen berperan aktif dalam pembentukan struktur, dengan adanya empat pilar komunikasi yang wajib dimiliki agen yaitu Kejelasan,
Kebenaran, Kejujuran, Ketepatan akan memunculkan konsep Rasionalitas Komunikatif sebagai lawan dari Rasionalitas Instrumental.
Perbedaanya terletak pada metode dan tujuan yang ingin dicapai, rasionalitas instrumental bersifat hegemonik, menekan, mendominasi, sedangkan rasionalitas komunikatif ingin mencapai konsensus yang demokratis suatu kesepahaman dialogis.

Alam demokrasi di Indonesia mengharuskan adanya ruang publik, menurut habermas hanya norma-norma yang disetujui oleh anggota masyarakat atau peserta sebuah diskursus praktislah dianggap valid. Legitimasi suatu struktur merupakan cerminan dialog antara peserta yang dimantapkan melalui kesepahaman legal.

Pancasila sebagai sebuah ideologi dan sumber hukum lahir dari produk dialogis, pertemuan antara kaum nasionalis sekuler, nasionalis-religius dan kaum agamawan.

Pancasila menjadi suatu keniscayaan ditengah pergulatan ketat antara ketiga kelompok unsure masyarakat,
sehingga hingga kini Pancasila yang menurut Damage, adalah unsur

pengikat bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki potensi konflik dari berbagai sisi. Politik praktis kontemporer yang oleh banyak ahli menyakini bersifat elitis dan industrial, menyebabkan ruang publik berada dalam masa suram, ruang publik dapat dikatakan telah terpleset atau mungkin saja terasing.

Kebebasan dalam menyampaikan pendapat sebagai bagian dari kejelasan dalam terminologi Habermas tergelincir pada pandangan kelompok, banyangkan produk hukum yang legal oleh salah satu anggota DPR dianggap sebagai lelucon, lembaga yang dalam berbagai suvei, dan aksioma merupakan lembaga paling korup dan yang paling tidak dipercayai rakyat dibela secara membabi buta dengan membunuh kredibilitas lembaga hukum.

Tersebarnya berita Hoax, sehingga membuat kejelasan bagi rakyat sangat mahal dan asing. Hoax adalah cerminan dari perilaku hitam dalam bentuk kampaye kebenaran. Konsumsi berita hoax mencirikan gesekan antara satu kelompok dengan kelompok lain dengan dalih menjatuhkan kredibilitas dijadikan isu publik, unsur yang kedua yaitu Truth (kejujuran) tergelincir menjadi post-truth (melewati kejujuran).
Tokoh-tokoh publik di negeri ini diyakini sering kali mengeluarkan produk hukum legalitas yang lebih mengutamakan kepentingan dirinya dibanding dari kepentingan

rakyat. Banyangkan saja tanpa adanya suatu tanda-tanda pembahasan rencana produk hukum yang bertujuan melindungi kehormatan anggota DPR disahkan, gayung bersambut pembahasan RUU yang bertujuan untuk melindungi kehormatan Presiden yang sempat tertunda karena oposisional argumentasi mulai dirampungkan tanpa adanya keributan argumentative, bagaikan kilat disiang hari bolong yang cerah tanpa tanda-tanda hujan, sedangkan RUU penyiaran belum rampung dibahas kendati telah ada di meja anggota

Dewan lebih dari setahun.
Tidakkah ruang publik, dimana kampanye yang mengandalkan kebenaran begitu dinanatikan oleh rakyat ?, kebenaranpun terasa sangat mahal

dan tidak terjangkau. Suatu kesepahaman atau consensus terasa sangat elitis, dinamika politik praktis pusat begitu silau bagaikan emas yang hanya bias dibicarakan oleh masyarakat namun tidak tersentuh karena dianggap tidak dapat memilikinya.
Editor : Eko Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar