Selasa, 10 April 2018

Oligarki Parasit Demokrasi



Oleh: Riyan Betra Delza
Direktur FK Institute

Pada dasar teoritisnya demokrasi itu adalah, kekuasaan tertinggi dalam sebuah roda pemerintahan berada di tangan rakyat. Apapun bentuk peraturan dan tujuan dari sebuah keputusan, kepentingan rakyatlah yang menjadi dasar pijakannya. Seluruh tata politik, hukum, dan ekonomi diciptakan untuk memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar, menyatakan, bahwa kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Artinya apa, bahwa sejatinya demokrasi adalah sistem yang menghadiahkan tahta tertinggi suatu pemerintahan yang dipegang langsung oleh rakyat.

Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, yang sudah berjalan cukup lama, dan sepertinya sangat matang walaupun disana sini masih banyak ketimpangan dalam pengaplikasiannya. Saat ini saja demokrasi di Indonesia bisa dikatakan sudah tergelincir ke lembah  oligarki, yakni pemerintahan dipegang oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan material yang sangat mapan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam realitas politik di Indonesia. Hal itu terlihat dari banyaknya pemimpin partai politik, calon pemimmpin daerah sekarang ini mayoritas adalah pengusaha-pengusaha kaya, yang siap menaikan citra dan pamornya untuk menjadi penguasa dengan melibas orang-orang yang tak sepemahaman dengannya. Kemudian mereka membeli kekuasaan dengan kekuatan  material yang mereka miliki.
Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata di tingkat lokal. Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente, maupun jaringan keluarga, sebagaimana terjadi di beberapa provinsi.

Dalam budaya perpolitikan Indonesia saat ini, bangunan oligarki dimulai dari  menentukan siapa yang akan menjadi calon pemimpin melalui partai politik, yang mana  partai tersebut adalah milik pemodal yang maha kuasa. lalu yang sudah berpasrah  diri kepada tuan nya tersebut dicalonkan dan kemudian baru rakyat memilih melalui demokrasi. Sering kali Politik uang dalam partai menentukan siapa yang menjadi pilihan. Apalagi fenomena seperti ini masih diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligark seolah-olah kebal hukum dan tampak hukum yang tunduk kepada oligarki.
Prinsip-prinsip demokrasi dilindas oleh prinsip untung rugi yang kental tertanam di dalam kapitalisme. Partai sekarang dikuasai para oligarki yang hartawan, misalnya Partai Golkar oleh Aburizal Bakrie, Nasdem oleh Surya Paloh, Perindo oleh Harietanoe Soedibjo dan masih banyak lagi, dan sejumlah pengusaha yang menguasai parlemen (sebagai anggota DPR) hingga 63 persen seperti yang pernah dikemukakan pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk.

Partai dengan penguasaan sumber daya material hendak mempertahankan atau meningkatkan kekayaannya dalam kontestasi pemilu dan jalannya pemerintahan hasil pemilu. Aktivis perempuan, Lies Marcoes dalam “Perempuan dan Langkah Afirmatif” (Kompas, 21/4 2014) menjelaskan, yang terjadi dalam mekanisme rekrutmen caleg di partai cenderung bersifat instans dan diwarnai nepotisme. NPWP (Nomor Piro Wani Piro).. Hal ini terutama disebabkan pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang tinggi. Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi parlemen dan lahirnya kebijakan yang pro kepentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki (elite politik/fraksi).

Akhirnya,Penguasaan oligarki terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan “leading”, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualism oligarki, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan.
Karenanya untuk memperbaiki sistem demokrasi dengan meminimalisir gerakan oligarki memang dibutuhkan kerja sama yang amat keras oleh rakyat. Kecerdasan dalam menentukan arah politik dan tidak alergi politik  juga sangat dibutuhkan setidaknya dengan menolak segala bentuk politik praktis dalam hal ini seperti Money politik dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar