Senin, 10 September 2018

Memilah ahli Agama dan Politisi.




Apakah yang anda ketahui tentang Ahli Agama? Apakah tujuan dan kedudukan dari seorang ahli agama (ulama) itu sebenarnya. Apakah patut seorang ulama itu menjadi berdampingan atau jadi Ban Serep-nya Umara (penguasa). Seorang Alim-ulama atau intelektual ahli agama yang loyal itu bukan pada pemerintah, tapi kepada umat-nya atau bangsanya. Ia berperan sebagai guru yang mencerdaskan umat agar manusia mencapai drajat kesempurnaannya sebagai khalifah Tuhan dimuka bumi (bangsa). Dengan begitu, peran ulama mengajak umat atau masyarakat untuk beramar ma'ruf dan meninggalkan kemungkaran untuk menjaga reformasi di bumi atau sebuah bangsa agar bisa tetap terjaga keutuhannya.

"Janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi (diperbaiki). Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat kepada orang yang berbuat baik." (Quran. Al-Aref: 56).

Maka tujuan ulama itu ialah menjadi petunjuk dan penerang bagi umat dari kegelapan yang merusak. Jadi bisa dikatakan bahwa tujuan seorang kiai (alim-ulama atau mubaliagh) itu ialah menyebarkan ilmu-ilmu agama dan sebagai tempat meminta fatwa. Agar masyarakat dan para politisi menjadi cerdas dan tidak sesat. Dengan begitu maka masyarakat dan politisi akan tetap punya sandaran akal sehat dari para ulama untuk menjaga reformasi dengan kritisisme. Dengan kata lain, setiap Alim-ulama harusnya cuma berpihak pada akal sehat (netral). Karena itu ia melakukan analisa dan kritik. Bukan malah menjadi Ban Serep penguasa. Bahkan jika akal politik buntu. Maka mereka bisa langsung meminta saran dari alim-ulama, minta saran dari dari akal sehat mereka. Tapi jika Alim-ulama itu berada pada lingkaran penguasa, maka bukannya solusi yang keluar dari mulut mereka tapi manuver kubu politik.

Maka berangkat dari logika sederhana itulah, kita melihat kesaling-terkaitan yang sejalan namun tidak beriringan antara agama dan politik. Memang ada ungkapan bahwa, Agama tanpa politik, berarti agama itu tak sempurna, karena ia tidak memiliki aturan (sistem) politik. Dan politik tanpa agama pasti menjadi Garang. Perkataan itu memang benar, namun kurang menyeluruh. Sebab, biarbagaimanapun juga, tujuan dari dakwa para ulama adalah menunjukkan kebenaran. Sedangkan tujuan dari politik ialah merebut kekuasaan.

Adalah tidak bisa memungkiri, bahwa fungsi Alim-ulama ialah menjadi petunjuk atau menunjukkan kebijakan (langkah) yang salah. Sedangkan fungsi penguasa adalah memperbaiki kesalahan. Jadi, kebijakan pilitik harus singkron dengan nilai-nilai Agama, bukan malah sebaliknya.

Sesungguhnya, dalam agama Islam, dengan segala kesempurnaannya dalam mengatur segala macam prilaku manusia: dari bangun tidur hingga tidur lagi; dari adab masuk toilet hingga masuk rumah orang; semua telah diatur dengan sangat indah dalam islam. Begitu juga, soal utang-piutang pun ada aturannya dengan ketat, misalnya tidak boleh dengan jalan Riba. Akan tetapi, langkah kebijakan politik sekarang ini, justru utang luar-negerinya semakin membengkak. Bahkan, utang itu sangat jelas mencolok mata sistem Riba-nya.

Maka sangatlah Lucu! Apabila ada seorang ahli Agama bersedia dicalonkan sebagai Wakil presiden hanya demi untuk meraih suara dalam pemilu atau untuk mendongkrak Elekstabilitas yang sudah mangkrak akibat kinerjanya yang sebelumnya gagal, supaya memungkinkannya untuk tetap melanggengkan kekuasaan yang hutang asingnya sudah super ugal-ugalan ini dan sangat ribawi serta menabrak nilai-nilai teistik (religiusitas) yang jadi sila pertama dasar Republik indonesia yang berketuhanan yang maha esa ini.

Sebenarnya, seorang Dai maupun mubaliagh itu hanya prestise yang diberikan, bukan prestasi yang dimenangkan. Tapi prestise sewaktu-waktu bisa di cabut lagi oleh yang memberi. Misalkan saja, kita sering mendengar istilah, seorang mantan penjahat, menjadi ulama, atau sebaliknya, seorang ulama menjadi mantan ulama.

Pernah diceritakan bahwa ada seorang penjahat yang membunuh genap 100 orang, dan salah satu korbannya adalah seorang mubaliahg dari agama tertentu, lalu dia mendapat hidayah, sehingga ia bertaubat, lalu ja meninggalkan segala prestise-nya sebagai penjahat, dan berhijrah kejalan yang lurus, dan meninggal dalam perjalanan sebelum ia sampai pada tujuannya, yang sudah dekat. Maka ia dinilai oleh Tuhan-Nya sebagai orang yang berprestasi dan boleh masuk surga.

Dan ada pula kisah seorang perempuan pelacur, yang memberi minum seekor anjing yang hampir mati karena kehausan, lalu Tuhan yang maha kasih meridhai perbuatannya itu, ia (pelacur tersebut) di ampuni dosa-dosanya, maka dia sebagai mantan pelacur yang masuk surga. Di samping itu semua, kita juga pernah mendengarkan kisah seorang yang sejak mudanya adalah ahli ibadah selevel wali, namun ia menjadi bulan-bulanan malaikat di neraka, sebagai mantan Ahli ibadah, sebabnya, dia tak menjawab panggilan ibunya, suatu dia sedang beribadah. Kita pun pernah melihat berita KPK menangkap seorang ulama Ahli tafsir Quran mengkorupsi Quran.

Jadi, kita harus tetap kritis kepada semua calon peminpin (capres-cawapres) kita. Meski pun ia adalah mantan ulama (guru kita). Maka jangan sungkan untuk menguji mereka. Ujilah mereka setajam-tajamnya, jangan takut kualat untuk mengkritik argument-argumentnya dengan argument yang lebih bermutu, tapi jangan dengan sentiment. Jadi, janganlah kita mudah tertipu dengan penampilan. Sebab, Wajah Etis bukan Wajah Sopan, melainkan dapat dipercaya. Sedangkan orang yang tidak dapat di percaya atau munafik itu memiliki sifat dan juga syiasat Busuk. Ciri-ciri yang melekat pada mereka ialah, beda dimulut lain dihati. Biasanya, bila berjanji selalu tak ditepati. Tapi besoknya sudah berani "janji, janji, janji" lagi. Dan bila diberi amanah selalu dia ingkari.

Maka ujilah terus Visi-misinya, tapi jangan pribadinya. Terus pelototi isi-nya, jangan ketipu dengan kemasannya. Dengan begitu, akan jadi percuma baginya untuk gonta-ganti kemasan. Karena kemasan itu untuk menyampaikan isi. Maka ujilah terus hingga kemasan itu terbuka isi-nya.

Kemasan itu ibarat sebuah topeng: Topeng tetaplah sebuah topeng. Meski pun yang kenakan topeng itu bisa berlagak seperti manusia, bisa joget, bisa naik sepeda, bisa pergu kepasar, bisa caper dengan cooper, sering blusukan. Bahkan pandai Tenggadahkan Tangan pada Penguasa Asing memohon uang dan hutang asing. Serta pandai bacakan tahlil di sebelah makam suci. Tapi tetap saja, itu hanya sebuah topeng yang dikenakan oleh Monyet. Dan sepandai apapun seoker monyet berperan sebagai manusia, dia tetap saja Binatang!

Akhirnya, saya harus menutup tulisan ini dengan beberapa dua perbandingan nilai yang tidak manusiawi: bahwa sesungguhnya, binatang itu sudah sejak dari takdirnya bersifat jalang. Karenanya mereka tidak punya Agama yang jadi aturan (hukum) untuk mereka ikuti dan terima sebagai pedoman hidup. Sedangkan di sisi lain, setan itu tidak mau di atur oleh hukum Agama. Maka ada dalil yang mengatakan, "Orang yang memakan (mengambil) harta Riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (terkena) penyakit gila".

Maka buat saya, seorang ulama yang bersedia jadi Ban serep penguasa yang gagal memenuhi janji-janjinya, Untuk kembali berkonsevtasi dalam bursa politik. Adalah seorang ulama yang memilih untuk menjadi mantan ulama. Ia sudah jadi politisi, bukan ahli Agama. Meski itu berarti merosot drajatnya, namun itu adalah pilihannya untuk berjuang di jalan yang sama tapi tidak identik berkaitan dengan keulamaannya.

GEMPITA 2018: Universitas Trunojoyo Madura.

Assalamu'allaikum wr.wb





📣📣 UKMF SMART Proudly Present 📣📣
                    *GEMPITA 2018*
          Universitas Trunojoyo Madura.

Selamat pagi, siang, sore dan malam.
 Ada info menarik nih !!!
Yukkk guys datang dan ramaikan serta turut berpartisipasi dalam rangkaian acara Bedah Buku *" Literasi Sampai Mati "* Karya Nurani Soyomukti tokoh penulis inspiratif  sekaligus aktivis asal Trenggalek .
 Wahh menarik banget kan guys _*Sebagai Jalan Progresif Membaca dan Menulis Demokrasi Partisipatoris*_  😍

Buruan!!!
*Save the date :*
*📆 : Minggu, 07 Oktober 2018*
*🕗 : 08.00 WIB*
*🏢 : Rektorat lt. 10*

Kabar baik juga buat kalian karena kalian bisa menambah koleksi buku. Dapatkan buku "Literasi Sampai Mati" dan buku-buku lainya karya Nurani Soyomukti *(dengan stok terbatas* )

Bagi kalian yang ingin bergabung silahkan kami juga buka stand lohh di *Taman depan RKBC* yukk guys karena sangat terbatas !!!

*Fasilitas*
1. _Sertifikat_
2. _Snack_
3. _Stiker_
4. _Doorprize_

Contact Person :
🧕🏻 : 082232661637 (Warti)
👳🏻‍♀ : 081776842551 (Sandi)
H
Jangan sampai terlewatkan !!!
 NB. *Dibuka Untuk Umum.*

#UKMFSMART
#2018
#LiterasiSampaiMati
#BedahBuku
#Gempita
#Bersatukitaberkarya

Kamis, 12 Juli 2018

Identitas diri, (Agama,suku dan warga dunia) dalam memaknai keragaman


Oleh : Riyan Betra Delza




Sebagai warga negara dalam sebuah bangsa yang besar yang dikarunia oleh nikmat suku, bahasa, dan agama tentunya hal ini membuat kita bersyukur dengan adanya anugerah tersebut. Tidak banyak warga bangsa lain memiliki anugerah yang begitu complete seperti ini. Masalah bahasa saja, kita mempunyai 742 jenis bahasa dan mempunyai 1.340 suku dan memiliki 300 kelompok etnis (sumber data sensus BPS 2015) .

Dari berbagai bentuk keragaman tersebut tentunya ada banyak peran dan tanggung jawab  yang disandang oleh bangsa Indonesia, disatu sisi ia adalah bagian dari pemeluk suatu kepercayaan (agama), disatu sisi ia juga bagian dari suku tertentu, dan disisi lain ia juga sebagai warga negara yang berpijak pada idelogi bangsa, pancasila dan UUD 1945 dan diranah yang lebih makro ia juga bagian dari warga dunia.

Maka tidak salah kiranya  komentar Samuel Hutington pada abad ke 20, ia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berpotensi paling besar hancur setelah Uni soviet dan yogoslavia. Demikan juga apa yang di sampaikan oleh Antropolog Cliford Gertz , ia mengatakan jika Indonesia tidak berpandai-pandai memenajemen keberagaman etnik, budaya, solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.

Oleh karena itu penting rasanya memperkuat identitas diri kita dengan cara benar-benar menempatkan diri ditengah panasnya suhu keragaman ini. Pertama karena identitas diri kita sebgai pemeluk agama tentunya persoalan keagamaan di selesaikan diranah-ranah privat, dan masing-masing pemeluk agama mesti sadar betul dengan keadaan ini. Salah satunya benar-benar menghormati dengan mempertajam sifat toleransi, dalam arti kata, hal-hal yang bersangkutan dengan ajaran keagamaan yang mempunyai hak atas itulah yang berhak menyelesaikan ketika ada pertikaian.

Salah satu faktor utama konflik keagamaan adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang masih ekslusif. Pemahaman keberagamaan ini membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lainnya. Pribadi yang tertutup dan menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lainnya. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya adalah salah dan bahkan dianggap sesat. Karena itu, perlu dibangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusifpluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantive.

Tidak boleh terprovokasi dengan isu yang terkontaminasi oleh kepentingan-kepentiingan praktis. Jikapun ada mesti hal itu di lakukan dengan cara-cara yang elok tetapi tetap dalam bungkusan ranah privat misal, persoalan muslim diselesaikan di ranahnya muslim, nasrani, hindu, budha juga seperti itu. Tidak boleh mencampuri hak-hak beragama baik itu dalam konteks dakwah, atau ajaran bagii setiap pemelauk agama, kecuali hal-hal yang dibahas pada forum akademis.

Kedua identitas sebagai bagian dari anggota suku tertentu, Terbentuknya komunitas bernama masyarakat adalah implikasi logis dari realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo socious (makhluk bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Dalam pandangan (Koentjaraningrat, 1990, p. 138), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi.

Dalam keadaan itulah di Indonesia penting kiranya kita mengingat kembali dari sejuknya semboyan “bhineka tunggal Ika” artinya apa, persolan budaya (suku) kita selesesaikan dengan semangat nasional. Walaupun kita berbeda suku tapi seyogyanya kita adalah bagian dari sebuah bangsa yang mengikraran persatuannya. mengingat kenyataan bahwa dengan semangat kebhinnekaanlah, negara ini hanya bisa bertahan dalam persatuan.

 Penting rasanya menghormati kemandirian daerah dengan keleluasaan menjalankan kegiatan kesukuannya tanpa ada rasa kecemburuan yang mendalam dengan selalu mengedapankan rasa solidaritas.

Ketiga identitas sebagai warga dunia, sebagai warga negara dari sebuah bangsa, kita juga merupakan warga dunia. Jika kita ingat terbentuknya NKRI ini tidak terlepas dari bantuan dari saudara kita yang berada di negara-negara lain. Ketika ada persoalan yang menyangkut kemanusiaan, lintas negara kita harus memberikan bantuan semampu yang kita bisa. Sebagai wujud dari bentuk solidaritas sekaligus identitas diri. Dalam UUD 1945  juga di tulis bahwa “penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan” hal ini kembali mengingatkan kita bahwa selain tanggung jawab nasional kita sebagai warga bangsa Indonesia juga  memilki tanggung jawab internasional, untuk mewujudkan peradaban yang adil, aman, tentram dan sejahtera.

Semoga dengan mengingat kembali identitas diri, tanggung jawab social kita bisa menciptakan sebuah peradaban global yang BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR.

Selasa, 03 Juli 2018

MAHASISWA ERA MILENIAL : INDIVIDUALISME DALAM HUMANISME





Generasi milenial atau sering di sebut juga dengan generasi Y yang lahir antara tahun 1980an – 2000an, dalam beberapa buku yang di tulis oleh William Strauss dan Neil Howe.  Seiring dengan berkembangnya zaman, tanpa kita sadari perkembangan teknologi sangatlah pesat, apalagi di era saat ini, setiap manusia ingin melakukan kegiatan dengan cara yang praktis. Hal ini tidak mampu di sangkal lagi apabila perusahaan yang berbasis teknologi komunikasi juga ikut membantu percepatan perkembangan teknoogi di era milenial seperti saat ini salah satunya adalah memproduksi gadget dan mengembangkan internet.
Namun siapa sangka, dengan pesatnya perkembangan teknologi malah membuat masyarakat (khususnya remaja, pelajar, dan mahasiswa) menjadi terlena akan indahnya dunia maya. Di jelaskan oleh erricson bahwa generasi milenial lebih cenderung suka bermain di dunia internet seperti streaming youtube, facebook, instagram dll. Di tahun 2011 mereka  Erricson melakukan penelitian dan melibatkan sebanyak 4000 remaja usia 16-19 tahun dari 24 negara.
Dan hasilnya di tahun tersebut sekitar 7 persen remaja lebih sering menikmati youtube dibanding berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Di tambah lagi durasi bermain internet yang cukup lama mengakibatkan para remaja terlena akan kehidupan dunia nyata. 4 tahun berselang, erricson mengungkapkan bahwa interaksi remaja dengan internet meningkat menjadi 20% dan durasi waktu bermain 3 kali lipat lebih lama dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan ini mengakibatkan kekhawatiran bagi setiap orang tua maupun masyarakat, bagaimana tidak. Jika setiap remaja hanya menikmati dunia maya tanpa mengikuti perkembangan dunia nyata di sekeliling maka besar kemungkinan mereka akan menjadi lebih individualis dan tidak akan peduli tentang apapun.
Lebih parahnya lagi, dampak negatif dari segi psikologi akan kecanduan gadget adalah mengurangi interaksi dengan manusia lain.
Tanpa disadari menggunakannya gadget terlalu sering malah membuat interaksi sosial di dunia nyata semakin berkurang. Terlalu fokus menggunakan gadget membuat orang tidak mudah melihat dan empati kepada lingkungan di sekitarnya. Sehingga mampu menimbulkan sifat egoisme bagi setiap pelaku.
Sebagai contoh di negara kita akibat dampak negatif gadget, banyak mahasiswa yang sudah di lenakan akan nikmatnya dunia maya. Mereka lebih senang menghabiskan waktu mereka di depan layar persegi panjang miliknya. Lebih senang bermain media sosial dibanding membaca dan berdiskusi. Sekarang sudah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa melakukan analisa sosial, isu-isu terkini baik dari segi politik, agama, ekonomi dll. Karena banyak penguasa-penguasa brengsek yang memanfaatkan kelemahan generasi milenial untuk kepentingan pribadi.
Bojonegoro, 03 juli 2018
Penulis :Arif Hakim

Senin, 25 Juni 2018

Ruangan perjuangan

Ruangan Perjuangan
Oleh:Arif Hakim


Malam kini semakin larut
Banyak kulit-kulit kusut menghiasi ruangan yang penuh kabut
Suara semut yang bergelut tak menghiraukan
Kerasnya batuan yang mulai menyusut.
Ku tuliskan sebuah kata perlawanan
Dalam jurnal kebenaran
Ku temui sebuah ikatan
Sebuah ikatan yang selalu menyuarakan kebenaran
Tak pernah takut melawan kemunkaran
Tak pernah menjilat untuk kekuasaan
Hanya bergerak dalam satu tujuan
LAWAN!!
LAWAN!! LAWAN!!
Hanya kata itu yang bisa ia sampaikan
Saat melihat kemunkaran.
Tak perduli berapa ribu peluru tajam menghantam
Tapi kau tak pernah sejengkalpun mundur untuk menyuarakan kebenaran
Karna kau adalah satu ikatan!!

Selasa, 10 April 2018

BUKU INI MENAWARKAN TRADISI MEMBACA DAN MENULIS SEBAGAI METODE PROGRESIF PENGEMBANGAN DIRI



Penerbitprogresif,Lamongan-
Untuk mewarnai jagat literasi, Penerbit Progresif kembali menerbitkan buku.
Kali ini adalah buku “Literasi Sampai Mati (Jalan Progresif Membaca, Menulis, dan Demokrasi Partisipatoris)” yang ditulis oleh Nurani Soyomukti, penulis asal kota kecil Trenggalek.

Buku ini ingin mengajak pembaca menjalani tradisi literasi, terutama tradisi membaca dan menulis, serta berperan dalam dunia sosial dan politik yang berbasiskan kecerdasan literasi. Keunikan buku ini, menurut Eko editor Penerbit Progresif, adalah terletak pada isinya yang provokatif melalui cerita dan kisah hidup penulis yang diuraikan dalam buku ini.

Menurut si editor, dalam buku ini kita bisa melihat bagaimana dinamika literasi dalam diri penulis berkembang. Pertaubatan dari aktivis radikal yang memegang pikiran ideologis yang kaku, hingga kemudian ikut masuk sistem demokrasi yang menurutnya lebih rasional untuk diperjuangkan. “Sepertinya ia kemudian menawarkan pilihan: Apa jika bukan demokrasi lewat pemilu? Demokrasi komunis dan Khilafah yang tidak menginginkan demokrasi itu sendiri?”, demikian tulis editor.

Ditambahkan oleh catatan editor bahwa  penulis menguraikan berbagai evolusi pemikiran bersamaan perubahan-perubahan peran. Sebagai sebuah buku yang dimaksudkan untuk memotret aspek literasi, buku ini cukup berhasil dalam menyuguhkan bagaimana pentingnya tradisi membaca dan menulis sebagai budaya yang harus dijaga. Keterlibatan penulis dalam aksi-aksi literasi sejak sekolah hingga ia pulang kampung tetap menjadi kisah utama buku ini. Mulai dari pertama kali “jatuh cinta” pada buku, hingga menjadi penulis banyak judul buku dan memetik peran sosial yang cukup partisipatif dari kedalamannya menerjuni danau Literasi.

“Pesan dalam buku ini adalah: Membaca dan menulis adalah jalan progresif yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin menjadi subjek indenden dalam kehidupan. Jalan membaca buku dan menulis adalah jalan menjadi manusia yang ingin mendapatkan pencerahan dan kontrol terhadap dunianya, bukan objek penindasan sistem budaya yang hanya menyuruh orang untuk meniru semata”, tulis editor.
( Red)

Oligarki Parasit Demokrasi



Oleh: Riyan Betra Delza
Direktur FK Institute

Pada dasar teoritisnya demokrasi itu adalah, kekuasaan tertinggi dalam sebuah roda pemerintahan berada di tangan rakyat. Apapun bentuk peraturan dan tujuan dari sebuah keputusan, kepentingan rakyatlah yang menjadi dasar pijakannya. Seluruh tata politik, hukum, dan ekonomi diciptakan untuk memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar, menyatakan, bahwa kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Artinya apa, bahwa sejatinya demokrasi adalah sistem yang menghadiahkan tahta tertinggi suatu pemerintahan yang dipegang langsung oleh rakyat.

Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, yang sudah berjalan cukup lama, dan sepertinya sangat matang walaupun disana sini masih banyak ketimpangan dalam pengaplikasiannya. Saat ini saja demokrasi di Indonesia bisa dikatakan sudah tergelincir ke lembah  oligarki, yakni pemerintahan dipegang oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan material yang sangat mapan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam realitas politik di Indonesia. Hal itu terlihat dari banyaknya pemimpin partai politik, calon pemimmpin daerah sekarang ini mayoritas adalah pengusaha-pengusaha kaya, yang siap menaikan citra dan pamornya untuk menjadi penguasa dengan melibas orang-orang yang tak sepemahaman dengannya. Kemudian mereka membeli kekuasaan dengan kekuatan  material yang mereka miliki.
Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata di tingkat lokal. Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente, maupun jaringan keluarga, sebagaimana terjadi di beberapa provinsi.

Dalam budaya perpolitikan Indonesia saat ini, bangunan oligarki dimulai dari  menentukan siapa yang akan menjadi calon pemimpin melalui partai politik, yang mana  partai tersebut adalah milik pemodal yang maha kuasa. lalu yang sudah berpasrah  diri kepada tuan nya tersebut dicalonkan dan kemudian baru rakyat memilih melalui demokrasi. Sering kali Politik uang dalam partai menentukan siapa yang menjadi pilihan. Apalagi fenomena seperti ini masih diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligark seolah-olah kebal hukum dan tampak hukum yang tunduk kepada oligarki.
Prinsip-prinsip demokrasi dilindas oleh prinsip untung rugi yang kental tertanam di dalam kapitalisme. Partai sekarang dikuasai para oligarki yang hartawan, misalnya Partai Golkar oleh Aburizal Bakrie, Nasdem oleh Surya Paloh, Perindo oleh Harietanoe Soedibjo dan masih banyak lagi, dan sejumlah pengusaha yang menguasai parlemen (sebagai anggota DPR) hingga 63 persen seperti yang pernah dikemukakan pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk.

Partai dengan penguasaan sumber daya material hendak mempertahankan atau meningkatkan kekayaannya dalam kontestasi pemilu dan jalannya pemerintahan hasil pemilu. Aktivis perempuan, Lies Marcoes dalam “Perempuan dan Langkah Afirmatif” (Kompas, 21/4 2014) menjelaskan, yang terjadi dalam mekanisme rekrutmen caleg di partai cenderung bersifat instans dan diwarnai nepotisme. NPWP (Nomor Piro Wani Piro).. Hal ini terutama disebabkan pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang tinggi. Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi parlemen dan lahirnya kebijakan yang pro kepentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki (elite politik/fraksi).

Akhirnya,Penguasaan oligarki terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan “leading”, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualism oligarki, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan.
Karenanya untuk memperbaiki sistem demokrasi dengan meminimalisir gerakan oligarki memang dibutuhkan kerja sama yang amat keras oleh rakyat. Kecerdasan dalam menentukan arah politik dan tidak alergi politik  juga sangat dibutuhkan setidaknya dengan menolak segala bentuk politik praktis dalam hal ini seperti Money politik dan lain sebagainya.