Jumat, 09 Maret 2018

POLITIK NYAI SURTI

Nama : Mohammad Afifi
TTL : Bondowoso, 20 April 1994
Alamat : Maskuning kulon Pujer Bondowoso
Komunitas : Gusdurian Bondowoso
Akibat sok sibuk, sekitar sebulan lebih aku tak sowan ke nyai Surti.

Logo .Progresif.
Di Banyuwangi, sore hari kemaren, spontan nyai Surti datang dan mengutukku lewat mimpi. “Manusia macam apa kau ini, kotamu lagi kesakitan, malah kau enak lelap di kota orang” bentak nyai surti di mimpi itu.
Aku terbangun kaget. Pusing, bingung tak karuan.
“Aduh, guruku memanggil” besitku merunduk menyimpukan.
Keesokannya, aku pun menyegerakan pulang menuju Bondowoso. Ditemani deras runtuhan halus embun, perjalananku terselimuti dingin sejuk menenangkan. Dalam kesejukan itu, kudapati gambar-gambar terpampang ramai melintang di sepanjang ruas jalan dengan berbagai motif dan farian. Ada yang merelegiuskan, meramhkan, bahkan ada yang berisi pesan dengan maksud sok meluruskan yang tak lurus. Menawarkan untaian, menyajikan hidangan serta menjanjikan keindahan-keindahan.
Riang gembira kerumunan kera-kera di sepanjang jalan hutan Baluran, pun memandangiku sembari tersenyum bak menyambutku saat melintasi jalan-jalan aspal bergelombang itu.  Andai kera itu anoman dalam serial legenda kuno, pasti kera-kera itu berteriak, “Hati-hati!, disini jalannya rusak dan bergelombang bro!” Bisikku pada kawan saya yang nyetir.
Kembali ke prihal mimpiku, tanpa ngelayap kemana-mana, akupun langsung menuju ke kediaman nyai Surti. Pagi itu mendung, berkabut, hitam pekat.
Dipertigaan tak jauh dari rumah nyai Surti, kudapati nyai Surti sedang bermain-main dengan burung kakak tua peliharaannya, namanya Kikuk.
Perlahan dan penuh kehati-hatian, kulangkahkan kaki menghampiri nyai Surti. Sejauh suara terdengar, sembari meletakkan tangannya di dahi, nyai Surti memandangiku penuh tatap.
“Dari mana, mas?” Sapa nyai surti, dengan nada lebut sembari bercanda ria dengan si Kikuk.
“Alhamdulillah, pagi ini sepertinya aku tak akan dimarahi.” simpulku dalam pikiran.
“Dari Banyuwangi, nyai.” jawabku, sungkem.
“Monggo, masuk mas!.” Ajak nyai Surti.
“Enggeh siap, nyai.” Sahutku.
Diruang tamu, suasana tetap seperti biasanya, mistis, seram menakutkan.
“Ngapain ke Banyuwangi, mas?” Tanya nyai Surti, sembari membakar kemenyan.
“Ikut kegiatan workshop literasi, nyai.” Jawabku.
“Kegiatan macam apalagi itu?, kamu ini terlalu sibuk soal begituan, padahal sekitarmu lagi sakit dan pada sibuk membodohi dengan pembangunan citra-citra.” Nyai surti, mulai meninggi.
“Maksudnya, nyai?” Aku mulai tak jelas.
“Masih saja kau akrab dengan tololmu itu!” Bentak nyai surti.
“Aduh, ampun, nyai.” Responku, sungkem.
” Jean Baudrillard (Madzhab Frank froud, Jerman) Menyatakan, saat ini manusia tak lain hanya Symulacra, artinya manusia dibentuk oleh Citra, media, dan ruang-ruang hampa. Perjumpaan sudah terenggankan, dianggap tidak begitu penting, bahkan sama sekali tak penting. Persoalan apapun, kecil atau besar tak perlu lagi diselesaikan dengan pertemuan. Pun membikin persoalan, saat ini sudah sangat mudah sekali.” Sahut nyai surti.
“Lalu, nyai?” Aku semakin bingung.
“Ah, makin goblok aja kamu!” Nyai Surti menggebrak meja ukirnya.
“Oleh Jean Baudrillard, Manusia tak lagi dipandang masyarakat, tapi kerumunan (bukan ivindividulis). Sebab dirinya sudah terkerumuni, terkontaminasi dan dikuasai. Mereka bukan lagi mereka sendiri.” Jelas nyai Surti dengan suara menggema.
“Apa seperti gambar-gambar yang berjejeran di sepanjang jalanan itu, nyai?” Tanyaku, mengait-ngaitkan.
“Nah, itu kamu mulai nyambung. Olehnya, manusia mulai kehilangan sosiologikal, eksistensi, integritas. Seolah kemapanan terwakilkan oleh gambar-gambar itu. Padahal kemapanan dapat diraih tak segampang pampangan-pampangan itu, pun tak secepat doa-doa dalam film senetron. Itu tak lain hanya fatwa-fatwa bisu yang mati.” Terang Nyai surti.
“Bukankah, tampak fisik bagian dari representasi substansinya, nyai? bahkan banyak tersisip ayat-ayat qur’an loh di gambar itu.” Sahutku, nakal.
“Astaghfirullah, begituan itu yang membuatmu makin tolol.” Bentak nyai Surti menggebrak meja.
“Aduh, kena lagi, Ampun, nyai?” Jawabku, Keblinger.
“Ayat-ayat quran terlalu suci jika dipakai begituan dan dibenturkan dengan ilmu pengetahuan, apalagi memakainya dalam rangka simplifikasi (merendahkan/mengenyampingkan) realitas lainnya. Bukankah begituan itu yang justru jelas-jelas merendahkan kesucian (ayat-ayat)-Nya?” Nyai Surti, melotot tak terkontrol.
“Ampun, nyai. Lalu apa yang harus aku perbaiki, nyai?” Tanyaku.
“Afdholul ‘ilmi ilmul hal, wa afdholul ‘amali hifdzul hal, (Utamanya ilmu itu prilaku, utamanya pekerjaan menjanga prilaku itu) kata syekh Azzarnuji dalam kitab klasiknya (Ta’limul muta’allim). Jadi, tafsir-tafsir dan prilakumu itu perlu di-rekonstruksi ulang. Bilas sebersih mungkin kotoran-kotoran didirimu itu. Jaga, kemudian berprilakulah sebaik mungkin dan berbuatlah yang semestinya.” Nyai surti menggumam.
“Enggeh, siap, nyai. Berarti gambar-gambar itu jahat sekali ya, nyai? Bukankah dalam politik hal itu tak jarang dijumpai bahkan dianggap wajar?” Lanjutku, semakin mendalami.
“Pikiranmu itu yang jahat, goblok!. Bagaimana kau mampu memahami sesuatu kejahatan, sementara kejahatan didirimu saja tak kau sadari. Apalagi kau hanya berdasar pada anggapan-anggapan itu. Dasar goblok!” Nyai surti semakin ganas.
“Sendiko dawuh, nyai.” Aku, sungkem.
“Haduh, begini mas, Dalam politik, gambar gambar itu memang sengaja dibangun kekuatan sajak, untaian, mantra-mantra sakti dalam rangka simplifiakasi itu tadi. Sebab misi politik adalah menguasai. Semua, apapun itu pasti dipolitisir. Ditindihlah lawan-lawannya, dibuatnya babak belur. Bukankah, banyak kita jumpai, sebab gambar, para tuan-tuan itu saling kunci-mengunci, saling potong memotong, bahkan saling menjatuhkan sebelum masuk ring pertarungan?” Terang nyai Surti, meyakinkan.
“Enggeh, nyai. Kira-kira apa yang harus saya lakukan terhadap masyarakat, nyai?” Tanyaku, bersemangat.
“Lebih dulu tanya dirimu sendiri! Lalu terus edukasi dirimu dan sekitarmu. Masyarakat kita pemilih irrasional, bukan rasional. Mereka dikelabuhi. Pikiran mereka dihipnotis, dibius, dikuasai bahkan dibantai. Tak ubahnya mereka dibuat layaknya sebuah serial sinetron yang selalu memberikan kejutan-kejutan spontan, cepat dan seajaib mungkin.” Tutup nyai surti.
“Waduh, Sulit dan berat sekali rasanya, nyai?” Responku, mengeluh ragu.
“Berat, jika tak kau lakukan, tolol!. Bukankah, tuhanmu telah menyeru untuk selalu berbuat bersama-sama dan berkompetisi dalam kebaikan? Wa likulli wijhatin huwa muwalliha fastabiqul khoirot, ainama kanu yakti bikumullahi jami’an innallaha ‘ala kulli syai’in qodir. (Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 148). Jelas, bukan?” Nyai surti, ngelu.
“Enggeh, sampun jelas, nyai.” Jawabku.
“Dasar tolol. Sana pulang! Masih terlalu banyak halaman-halaman yang belum kau buka dalam kitab-kitabmu, lebih-lebih kitab yang didalam dirimu.” Nyai surti sambil mengibaskan telapak tangan tepat di depan tatapanku.
“Ampun, nyai.” Sahutku.
Akupun salaman, nyai Surti berbisik, “Ingat…! Politik itu main-main tapi serius, mas. Jadi jangan mau dibuat ribet oleh politik, kata Gusdur.” Hwakakakakak, nyai surti ketawa terbatuk-batuk.
Dengan langkan kaki mundur, aku pamit pulang. Aroma kemenyan nyai Surti masih kuat tercium seolah masuk menyusup sambil menyaksikan kepulanganku.

  • Tenggarang, 10 Maret 2018
Editor : Eko Nugroho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar