Minggu, 25 Maret 2018

Psikologi Revolusi Sebagai Vaksin Pemersatu Bangsa (Refleksi Pemikiran Gustave Le Bon)






Oleh : Riyan Betra Delza
(Ketua Perhimpunan Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta)

Seringkali, dikatakan bahwa tindakan seseorang atau kelompok tergantung pada tingkat pengetahuan (rasional)-nya. Realita sosial kenyataannya tidak selalu demikian. Meskipun sebuah gerakan selalu dimulai oleh tindakan atas dasar motif alasan yang rasional, kita tidak boleh lupa bahwa persiapan untuk menuju gerakan itu sendiri tidak akan bisa mempengaruhi orang banyak sebelum alasan-alasan tersebut berubah menjadi hal yang sentimentil. Inilah yang dijelaskan Gustave Le Bon dalam Psikologi Revolusi. Ada empat aspek yang mempengaruhi bagaimana individu atau kolektif melakukan perlawanan menurut Le Bon: logika mistis, logika rasional, logika afektif, dan logika kolektif.
Dari manapun asalnya, revolusi tidak akan produktif sebelum ia merasuk ke dalam jiwa banyak orang. Logika rasional digunakan untuk menunjukkan penyalahgunaan  prinsip-prinsip yang harus dihancurkan. Namun berbagai harapannya harus dibangkitkan dan dikembangkan menjadi sesuatu yang menggerakkan banyak orang. Hal ini merupakan domein afeksi dan mistis yang mampu memberikan kekuatan pada manusia untuk bertindak. Pada saat revolusi Prancis, logika rasional yang dianut oleh para pemikir digunakan untuk menunjukkan kekurangan rezim lama dan membangkitkan keinginan untuk mengubahnya.

 Logika mistik menginspirasi keyakinan terhadap kebaikan-kebaikan yang dibangun di dalam jiwa masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah tertentu –agama, keyakinan, dan kepercayaan. Logika afektif mampu memberikan kebebasan hasrat banyak orang yang sebelumnya dibatasi, dan mampu menyebabkan berbagai perbuatan-perbuatan yang kadang tidak terpikirkan. Di akhir, logika kolektif digunakan untuk menghimpun dan merajut majlis-majlis, dewan-dewan yang tak akan pernah terdorong oleh logika rasional, afektif, ataupun mistis.

Bagi Le Bon, logika mistis penting dalam sebuah revolusi. Hal ini jarang diungkapkan oleh para pemikir-pemikir gerakan sosial. Le Bon membagi konsep revolusi menjadi tiga; revolusi ilmiah (sains), revolusi agama, dan revolusi politik. Jika revolusi ilmiah semata-mata berasal dari kegelisahan logika rasional, berbeda dengan revolusi agama dan politik yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor afektif dan mistis. Nalar hanya memainkan bagian yang lemah dalam revolusi politik dan agama.

Sebuah kepercayaan politik atau agama merupakan tindakan keyakinan yang terendap melalui ketidaksadaran, bagaimanapun penampilannya, kuasanya tidak dipegang oleh nalar. Orang yang sudah terhipnotis oleh imannya, ia siap mengorbankan kepentingan, kebahagiaan, dan bahkan nyawanya untuk kemenangan imannya. Kekuatannya bisa mendominasi pikiran dan hanya dapat dipengaruhi oleh waktu. Kekuatan dari keyakinan politik dan agama, yang telah menggerakkan dunia, dilahirkan oleh unsur mistis dan afektif. Karena itu, keyakinan tidak hanya diciptakan atau diarahkan oleh nalar.

Meski sekarang kita hidup di dunia yang serba rasional dan positivistik, namun tak bisa dipungkiri bahwa sejarah gerakan dan revolusi kebanyakan, mesti tidak semua, diwarnai dengan hal-hal yang sarat akan hal mistis/keyakinan. Lihat saja bagaimana sejarah revolusi selalu menyematkan mistifikasi pada aktor atau keyakinan tertentu. Sebagai contoh, sejarah revolusi agama selalu menghasilkan revolusi politik pada periode kenabian, revolusi Indonesia menyematkan tokoh-tokoh revolusioner sebagai ‘Juru Selamat’, revolusi Prancis dan Iran dengan semangat agamanya-Katolik dan Islam, revolusi Soeharto juga menyelipkan mistifikasi atheisme dan intoleransi pada simpatisan kelompok kiri. Termasuk, perjuangan sedulur sikep dan JMPPK juga mengatribusikan bahwa alam, gunung, dan agraria adalah ibu bumi. Tak bisa dipungkiri, sepolitis apapun, aksi umat beragama akhir-akhir ini juga banyak dipengaruhi oleh faktor mistis ini. 

Psikologi dan Prospek Gerakan Sosial
Merujuk pada beberapa hal di atas, agaknya perlu bagi kita menggunakan kerangka analisis yang digunakan dalam perspektif psikologi untuk menganalisa dan merancang sebuah gerakan sosial. Berbekal dari pandangan Bert Klandermans, Schussman & Soule, Gustav Le Bon di atas, penulis ingin menambahkan elemen penting pada diskursus gerakan sosial saat ini, di era dimana mewacanakan rasa ketidakadilan seolah menjadi hal yang tabu.

Tidak jarang kita mendengar bahwa kemiskinan, kesengsaraan, dan keterbelakangan adalah cobaan. Tak jarang pula, identifikasi atas ketiganya sering terjebak dalam logika blaming the victim (menyalahkan si korban). Ada pula anggapan bahwa ketidakadilan terjadi karena kesalahan prosedur serta tidak berjalannya fungsi institusi politik. Inilah pandangan-pandangan fungsionalisme.

Dengan pandangan ini, akhirnya sebuah gerakan sosial terjebak pada paradigma konformis-reformis. Padahal, banyak problem sosial tidak bisa tuntas hanya dengan cara mengurangi penderitaan seseorang, mendoakan, serta berharap agar masalah akan selesai dengan sendirinya. Problem sosial juga tidak bisa diatasi peningkatan keterampilan, membuat struktur yang ada bekerja dengan baik, dan menghilangkan permasalahan yang silih berganti terus menerus. Bagaikan memukul nyamuk satu persatu tapi tidak memberangus ladang nyamuknya. Mungkin dalam situasi tertentu, pandangan ini masih relevan.

 Namun di tengah krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan ini, paradigma fungsionalisme memiliki kekacauan di sana sini, utamanya pada titik identifikasi terhadap akar masalah berikut penyelesaiannya. Perspektif kelas dihindari, diskursus kesenjangan bahkan dilihat karena lemahnya peran pemangku jabatan, saran dan rekomendasi diagungkan. Inilah yang menyebabkan kenapa seabrek problem sosial tak lantas menyulut gerakan sosial yang luas.

Secara psikologis, masyarakat menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika masalah tidak terus terjadi dan tak pernah henti, maka masyarakat akan mengalami kegusaran. Potensi kegusaran yang terus menerus terjadi akan terbentuk menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap “musuh”. Kegusaran, kemarahan, dan ketidakadilan akan selalu tercerai-berai. Di sinilah peran agen dalam gerakan sosial menjadi krusial untuk mengorganisir kemarahan kolektif. Inilah pekerjaan rumah kita. Rasa ketidakadilan harus ditransformasikan, identitas “kita” dan “mereka” harus ditegaskan, sehingga peluang terjadinya perubahan secara radikal terbuka lebar.

Kamis, 15 Maret 2018

PEMILU DAN FANATISME AGAMA






Oleh : Riyan Betra Delza
Direktur FK Institute

Hal rutin yang selalu menjadi isu-isu dramatis pada pesta pemilu, yang paling utama menurut saya adalah menguatnya rasa sensitifitas kepada rivalitas yang dibalut dengan bingkai  agama.

 Pilkada yang seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi yang didedikasikan untuk mencari pemimpin terbaik, berubah wujud  menjadi panggung transaksionalyang cacat moral sehingga melahirkan budaya yang rasis, agamais (fanatik) untuk menolak pemimpin yang tidak sekeyakinan dengan nya ataupun yang dianggapnya tidak memenuhi standard orang beragama menurut keyakinannya.

Fenomena tersebut bukan suatu hal yang baru dalam kontestasi pilkada di Indonesia, dan saya pikir hal itu sudah menjadi semacam budaya kompetisi demokrasi di Tanah air kita ini. Nah Apabila kita ingin melihat lebih jauh apa yang menjadi penyebab hal tersebut muncul, menurut saya adalah tidak mampunya para kompetitor tersebut memaknai sebuah drama demokrasi dengan skenario yang adil dan beradab yang di serukan Pancasila tersebut.

Di era milenial ini Fanatisme agama dalam tanda kutip claim kebenaran sepihak, bisa menjadi masalah yang serius  bagi bangsa kita yang masih muda dalam berdemokrasi. Apalagi fungsi Fanatisme agama, cenderung digunakan  secara aktif untuk kepentingan pollitik praktis para elit dalampemenangan calon-calon yang didukungnya dipilkada. Cara tersebut dinilai sangat ampuh sebagai virus akut yang sejatinya bisa menjaring masa dengan sebanyak-banyaknya.

Sehingga dengan cara cacad moral tersebut munculah gesekan-gesekan dari berbagai kalangan dan golongan yang merasa dirugikan oleh virus-virus claim sepihak tersebut. Akibatnya pilkada yang seharusnya dihujani dengan materi-materi yang mencerdaskan, berubah tajam menjadi suasana yang penuh hujatan, tipu muslihat dan kadang berujung anarkis dengan bentrok dan pengrusakan.

 Apabila fenomena ini berlanjut, maka Indonesia akan rapuh dalam memaknai keberagaman dan keberagamaan yang berujung pada krisis toleransi, dan akan mudah berpecah belah  karna terlalu susahnya mewujudakan dan perdamaian antar sesama, dan antar pemeluk  agama.
Apalagi Pada tahun tahun 2018 ini akan diadakan Pilgub beberapa Provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan. Belum lagi di Tahun 2019 yang akan mengadakan Pileg dan Pilpres. Pertanyaan yang akan muncul, apakah pada Pemilu nanti tidak akan ada lagi isu syara yang di tunggangi oleh fanatisme agama (claim kebenaran sepihak) ?
Rasanya, akan sangat sulit lepas dari  kebiasaan lama tersebut, karna para sebagian politisi kita masih belum memiliki mental yang bagus dalam berkompetisi.

  Apabila keadaan dan kebiasaan seperti itu terus berlanjut, akan seperti apa demokrasi kita kedepan nanti, yang penuh dengan dramatisasi haram terebut.  Sungguh tragis bukan, budaya baku hantam, akan terus diwarisi oleh penerus bangsa ini kedapan.

Apalagi dengan keadaan generasi muda kita yang masih labil dan apatis terhadap yang namanya keberagaman dan keberagamaan tersebut. Saya tidak bisa membayangkan jika penyakit fanatisme( claim kebenaran sepihak)  ini sampai kepada titik nadir yang pada akhirnya mesti meminta tumbal terhadap kelangsungan bertahan hidup dan bertahtanya para penguasa dzolim.
Nah Apa yang seharus kita lakukan ?

 Berbicara persoalan agama tentu yang menjadi elemen penting adalah keyakinan (akidah) bagi setiap pemeluknya. Peran  tokoh-tokoh agama sebagai pemegang kunci yang sangat penting dalam  meredam fanatisme agama dengan memberikan pencerahan-pencerahan yang sesuai dengan tuntunan wahyu, dengan selalu  mengedapankan nilai-nilai toleransi, kemanusian, dan lain sebagainya tentu sangat dibutuhkan adanya.

Namun Jangan sesekali pula para pemuka agama memanfaatkan moment tersebut dalam agenda yang negative contoh, katakanlah ustad dan lain-lain tersebut juga terlibat politik praktis, dengan mempelesetkan wahyu untuk merauk keuntungan dari pasangan calon yang didukung. Tentu hal tersebut akan membuat masyarakat semakin bingung, dan tersesat.

Untuk itu perlu kekonsitenan para pemuka agama, bahwa selalulah menjunjung tinggi fungsinya sebagai penyampai kebenaran, dan tetap berjalan di koridornya sebagai pendakwah, dan penentram ummat.
Selain fungsinya secara global sebagai penentram ummat,  tentunya bimbingan  ulama juga sangat dibutuhkan kepada para politisi agar bisa berkompetisi dengan tetap menjunjung tinggi makna toleransi dan adab yang baik dengan cara  memberikan bimbingan spritualitas.

 Apabila itu berhasi dilakukan maka akan terwujud politisi yang bisa memberikan contoh berdemokrasi yang baik dengan menang melalui cara-cara yang berkeadaban sehingga image pemilu sebagai perpecahan dikarenakan fanatisme agama, akan memudar dan hilang.

Semoga di Pemilu yang akan kita hadapi ini, masalah agama sebagai kendaraan perpecahan bisa kita redam dan kita hilangkan.

Senin, 12 Maret 2018

PENDIDIKAN KELUARGA MENURUT ISLAM DALAM BUDAYA ADAT MINANGKABAU





Buku Yang Di terbitkan
" FK INSTITUTE Bekerja sama dengan PROGRESIF" menggambarkan tugas orang tua sebagai pendidik
menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan kedudukannya dalam

kehidupan anak. Tugas tersebut bukan hanya sebatas kemampuan
untuk memberikan pendidikan yang baik, lebih dari itu adalah
bagaimana orang tua menempatkan posisinya sebagai teladan yang
baik bagi anak-anaknya yang melibatkan unsur jasmani dan rohani.

Banyak orang tua yang tidak mengetahui bagaimana kiat sukses
dalam mendidik anak yang memiliki kecenderungan dan keinginan
yang berbeda-beda, apalagi banyaknya halangan, tantangan dan
kendala yang selalu merintangi saat menerapkan metode pendidikan

yang benar dalam keluarga. Secara teoritis, ajaran Islam memberikan
konsep yang jelas tentang tugas orang tua sebagai pendidik, namun
secara praksis kehidupan masih banyak

terdapat penyimpangan
prilaku anak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Begitu pula
dengan sistem adat Minangkabau juga

 memiliki konsep yang
berkaitan dengan pendidikan. Maka dari itu, perlu mengeksplorasi
kedua konsep di atas untuk menemukan konsep ideal pendidikan
Islam yang sejalan dengan kearifan lokal Minangkabau.
Selamat Membaca.

Minggu, 11 Maret 2018

RUANG PUBLIK



Oleh: Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya, S.Ag, M.Si Penarukan, 13 September 1989 Dosen FISIP UNMAR Denpasar




                  

 Sumber Ilustrasi Dari Pikiran rakyat.com

Antara Terpleset dan Terasing
Pergulatan antara kematian subjek dan peran aktif agen, struktur dengan kultur dalam pemaknaan serta pembentukan segala bentuk aksi di arena sosial diberikan mediasi oleh filsuf kontemporer yang memiliki ciri anti-fundasionalisme.

Salah satunya adalah Habermas yang menelurkan konsep Ruang Publik sebagai bentuk aksi komunikasi dalam pembentukan struktur.

Agen berperan aktif dalam pembentukan struktur, dengan adanya empat pilar komunikasi yang wajib dimiliki agen yaitu Kejelasan,
Kebenaran, Kejujuran, Ketepatan akan memunculkan konsep Rasionalitas Komunikatif sebagai lawan dari Rasionalitas Instrumental.
Perbedaanya terletak pada metode dan tujuan yang ingin dicapai, rasionalitas instrumental bersifat hegemonik, menekan, mendominasi, sedangkan rasionalitas komunikatif ingin mencapai konsensus yang demokratis suatu kesepahaman dialogis.

Alam demokrasi di Indonesia mengharuskan adanya ruang publik, menurut habermas hanya norma-norma yang disetujui oleh anggota masyarakat atau peserta sebuah diskursus praktislah dianggap valid. Legitimasi suatu struktur merupakan cerminan dialog antara peserta yang dimantapkan melalui kesepahaman legal.

Pancasila sebagai sebuah ideologi dan sumber hukum lahir dari produk dialogis, pertemuan antara kaum nasionalis sekuler, nasionalis-religius dan kaum agamawan.

Pancasila menjadi suatu keniscayaan ditengah pergulatan ketat antara ketiga kelompok unsure masyarakat,
sehingga hingga kini Pancasila yang menurut Damage, adalah unsur

pengikat bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki potensi konflik dari berbagai sisi. Politik praktis kontemporer yang oleh banyak ahli menyakini bersifat elitis dan industrial, menyebabkan ruang publik berada dalam masa suram, ruang publik dapat dikatakan telah terpleset atau mungkin saja terasing.

Kebebasan dalam menyampaikan pendapat sebagai bagian dari kejelasan dalam terminologi Habermas tergelincir pada pandangan kelompok, banyangkan produk hukum yang legal oleh salah satu anggota DPR dianggap sebagai lelucon, lembaga yang dalam berbagai suvei, dan aksioma merupakan lembaga paling korup dan yang paling tidak dipercayai rakyat dibela secara membabi buta dengan membunuh kredibilitas lembaga hukum.

Tersebarnya berita Hoax, sehingga membuat kejelasan bagi rakyat sangat mahal dan asing. Hoax adalah cerminan dari perilaku hitam dalam bentuk kampaye kebenaran. Konsumsi berita hoax mencirikan gesekan antara satu kelompok dengan kelompok lain dengan dalih menjatuhkan kredibilitas dijadikan isu publik, unsur yang kedua yaitu Truth (kejujuran) tergelincir menjadi post-truth (melewati kejujuran).
Tokoh-tokoh publik di negeri ini diyakini sering kali mengeluarkan produk hukum legalitas yang lebih mengutamakan kepentingan dirinya dibanding dari kepentingan

rakyat. Banyangkan saja tanpa adanya suatu tanda-tanda pembahasan rencana produk hukum yang bertujuan melindungi kehormatan anggota DPR disahkan, gayung bersambut pembahasan RUU yang bertujuan untuk melindungi kehormatan Presiden yang sempat tertunda karena oposisional argumentasi mulai dirampungkan tanpa adanya keributan argumentative, bagaikan kilat disiang hari bolong yang cerah tanpa tanda-tanda hujan, sedangkan RUU penyiaran belum rampung dibahas kendati telah ada di meja anggota

Dewan lebih dari setahun.
Tidakkah ruang publik, dimana kampanye yang mengandalkan kebenaran begitu dinanatikan oleh rakyat ?, kebenaranpun terasa sangat mahal

dan tidak terjangkau. Suatu kesepahaman atau consensus terasa sangat elitis, dinamika politik praktis pusat begitu silau bagaikan emas yang hanya bias dibicarakan oleh masyarakat namun tidak tersentuh karena dianggap tidak dapat memilikinya.
Editor : Eko Nugroho

Jumat, 09 Maret 2018

MEMILIH PEMIMPIN BUKAN: NOMER PIRO WANI PIRO

Oleh M.Roissudin
( Penulis adalah Praktisi & Pegiat Sosial Budaya dan Pendidikan )






Dok foto.Rois Penulis Artikel.


Minggu lalu saya sengaja week-end menikmati pemandangan di Kawasan pegunungan Bendungan wonorejo –
Tulung Agung sekalian mampir di rumah rekan, tidak melewatkan
ritual Ngopi sekalian ikutan nimbrung dan sok akrab di warung milik mak nah.


Alunan ringan suara radio Jadoel milik maknah terdengar jelas syair lagu jaran goyangnya si Ratu Koplo
Via Valen, saya sengaja ngakrabi tiga Pria yang tengah asyik
Ngobrol soal Pemilihan Bupati dan
Gubernur yang di gelar serempak bulan juli mendatang.

Broo… Pokoke sopo ae sing kampanye yen ngewe’i duit yo tak coblos ” kata pak bandi ( bukan nama sebenarnya) lelaki paruh baya itu sambil nyruput secangkir kopi panasnya.

“ yo ora iso to kang sak iki kabeh calon mesti “andum” lhoh, nek di coblos kabeh kan ora sah”sanggah pak yanto.” Yo seng akeh dewe kuwi

seng di pilih to kang” pak marno yang sedari awal asyik mengisap
filternya tiba-tiba menyahut,”wes
ora usah rame-rame pokoke calone
No Piro Wani Piro (NPWP) ngono ae
kok repot” sahut pak marno sambil

nyelonong meninggalkan selembar ribuan di sebelah cangkir kopinya.

Dalam sebuah forum pengajian Bu Nurul (bukan nama sebenarnya) bertanya. “ bagaimana jika pemilihan nanti semua Calon memberikan Angpao, Uang,sembako atau sejeninya sementara kita hanya punya satu hak suara?” Ibu
yani menyahut mencoba untuk
menanggapi, “ ya di terima aja semuanya biar adil di coblos semua, eman-eman angpao-nya lumayan buat
uang belanja”ujar Ibu yang memang Kaum Urban sejak lima tahun tinggal di perkotaan.

yang lain sebut saja bu Ira menimpali, “ ya tidak bisa tho bu, suara kita tidak sah, mestinya di
coblos satu saja jadi nanti pilihanya manut dengan pimpinan saja aman” kata ibu Ira yang memang aktif di Organisasi sebut saja Ormas atau /Partai.

Bu minah ikut menambahkan “ jika ada Caleg membagi Angpao ya di tolak dan bilang sudah punya pilihan karena suara kita sangat

menentukan nasib bangsa lima tahun mendatang, Uang yang kita Terima harus di pertanggung jawabkan loh ”

Jawab Bu Minah yang sehari-hari
memang aktif di Dunia akdemisi
sebut saja seorang Guru atau Dosen,

serta sederet jawaban dan komentar
yang bervariasi meski diskusi itu berjalan gayeng tetapi tetap saja Jawaban akhirnya kurang memuaskan jamaah karena masing masing memliki

persepsi dalam memilih Pemimpin
Dua contoh diatas setidaknya mencerminkan tiga segment masyarakat pemilih dalam momentum
Pemilukada mendatang.

Pertama, masyarakat yang Pragmatis, adalah komunitas yang
apatis (tidak perduli) terhadap sebuah Isu penting serta tak ambil pusing dengan hiruk Pikuk politik yang menggejala.

Mereka sibuk dengan urusan pundi-pundi ekonominya sehingga tidak terlalu tertarik dengan isu apapun.

Siapapun calonnya dan apapun partainya mereka hanya satu kalimat” wani piro bro???
Kedua, adalah masyarakat yang mengiktui arus ( Follower).

Mereka akan mengikuti apapun yang di petuahkan oleh Pimpinanya, atau seseorang yang di anggap berpengaruh di lingkunganya.

Apapun kata pemimpinnya, akan patuh ibarat seorang prajurit akan patuh pada sabdo pandito ratu(Mendengar dan patuh pada intruksi atasan).

Komunitas ini relatif menyebar baik di Desa maupun kota-kota yang secara Kultur sangat kental dengan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan atau perkumpulan sejenisnya, umumnya mereka juga satu kata samikna –wa-atho’na (mendengar dan patuh)

Segmen ketiga, adalah Kelompok Idealis dan Obyektif.
Kelompok ini akan berpikir panjang dan Obyektif dalam menentukan pilihan.

Bagi mereka satu suara adalah penentu Nasib bangsa lima tahun berikutnya. Uang bukan menjadi pertimbangan tetapi Kompetensi, Program dan treck record Sang Calon Pemipin menjadi pertimbangan utamanya .

masyarakat ini umunya berasal dari akademisi, Birokrasi, pelajar Guru/Dosen yang latar Belakang pendidikanya memadai.

Segmen ini mewakili masyarakat cerdas yang tak terbuai oleh Rupiah, tak terpesona dengan Rona keindahan banner tak juga tergiur oleh manisnya janji.

Segmen ini akan lantang berkata “
jangan membeli kucing dalam karung ”.tau bahkan “jangan terperosok pada lubang yang sama”..

Muhammad Sa’roni dalam sebuah bukunya berjudul “ Cermin kehidupan Rasul” menyebutkan kriteria memeilih Calon Pemimpin yaitu :

Pertama : Tegas & adil, artinya mampu menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu menjadikan Hukum sebagai tahta tertingginya, bukan sebaliknya, saat di Kursi terhormat berteriak lantang seakan menegakkan keadilan tetapi di balik itu mereka bagian dari pelanggar dan terlibat Mafia Hukum.

Kedua bermoral tinggi, Memiih Pemimpin berakhlaq dan bermoral merupakan suatu keharusan, wakil rakyat tentu akan sangat naif jika Moralnya memprihatinkan.

Moral tidak serta merta dilihat dari sisi yang kasat mata tetapi prilaku Sosial dan sejarah serta Treck record menjadi hal penting untuk di pertimbangkan, ke Empat Tidak ambisius, Calon yang tampil hanya bermotif kepentingan sesaat dan inisiatifnya sendiri tanpa program dan misi kemasyarakatn yang jelas tentu patut di duga hanya bermotif kepentingan pribadi atau golongannya, bisa jadi orang ambisius tanpa Visi yang jelas adalah calon-calon penghuni Hotel Prodeo.

Kelima, Aspiratif, mengemban amanah rakyat tidaklah mudah sehingga Pemimpin yang mampu melihat , mendengar dan merasakan dengan hati tentang kebutuhan masyarakat menjadi syarat penting. Dan keenam bermusyawarah (Mujadalah) senantiasa melakukan pendekatan Musyawarah untuk menentukan kepentingan masyarakat.

Jadi kepentingan rakyat itu ukan bersifat top – down yakni kepentingan pemimpin yang di paksakan harus di terima oleh masyarakat meski sama sekali tidak menyentuh esensi kebutuhan masyarakat.

Kepentingan bersifat Bottom-Up adalah kebutuhan yang harus di utamakan serta menjadi prioritas yang harus di perjuangakan tanpa syarat dan embel-embel tertentu.

Saya mengajak pembaca dan semua calon pemilih…Satu saja suara kita, menjadi penentu nasib Bangsa dalam membangun dan memperjuangkan Nasib Rakyat.

Ketika wakil kita yang terhormat
itu terlanjur tersandung masalah
hukum, moral dan bahkan Korupsi
bisa jadi itu bermula dari satu suara titipan kita yang terlanjur terbeli dari bilik suara dengan
beberapa rupiah saja..sebagai masyarakat hendaknya Kita bias
pilih Calon yang mampu melayani dan mewakili Rakyat bukan mewakili diri dan partai atau kelompoknya,

sementara janji kampanye sekedar angina surga yang teraiabaikan akibat ambisi durjana mengumpulkan Pundi-pundi harta, berfoya-foya dan duduk manis di menara Gading

jauh yang dari jangkauan rakyatnya. Semangat memilih Calon Pemimpin Masa depan (*)
Editor : Eko Nugroho .

POLITIK NYAI SURTI

Nama : Mohammad Afifi
TTL : Bondowoso, 20 April 1994
Alamat : Maskuning kulon Pujer Bondowoso
Komunitas : Gusdurian Bondowoso
Akibat sok sibuk, sekitar sebulan lebih aku tak sowan ke nyai Surti.

Logo .Progresif.
Di Banyuwangi, sore hari kemaren, spontan nyai Surti datang dan mengutukku lewat mimpi. “Manusia macam apa kau ini, kotamu lagi kesakitan, malah kau enak lelap di kota orang” bentak nyai surti di mimpi itu.
Aku terbangun kaget. Pusing, bingung tak karuan.
“Aduh, guruku memanggil” besitku merunduk menyimpukan.
Keesokannya, aku pun menyegerakan pulang menuju Bondowoso. Ditemani deras runtuhan halus embun, perjalananku terselimuti dingin sejuk menenangkan. Dalam kesejukan itu, kudapati gambar-gambar terpampang ramai melintang di sepanjang ruas jalan dengan berbagai motif dan farian. Ada yang merelegiuskan, meramhkan, bahkan ada yang berisi pesan dengan maksud sok meluruskan yang tak lurus. Menawarkan untaian, menyajikan hidangan serta menjanjikan keindahan-keindahan.
Riang gembira kerumunan kera-kera di sepanjang jalan hutan Baluran, pun memandangiku sembari tersenyum bak menyambutku saat melintasi jalan-jalan aspal bergelombang itu.  Andai kera itu anoman dalam serial legenda kuno, pasti kera-kera itu berteriak, “Hati-hati!, disini jalannya rusak dan bergelombang bro!” Bisikku pada kawan saya yang nyetir.
Kembali ke prihal mimpiku, tanpa ngelayap kemana-mana, akupun langsung menuju ke kediaman nyai Surti. Pagi itu mendung, berkabut, hitam pekat.
Dipertigaan tak jauh dari rumah nyai Surti, kudapati nyai Surti sedang bermain-main dengan burung kakak tua peliharaannya, namanya Kikuk.
Perlahan dan penuh kehati-hatian, kulangkahkan kaki menghampiri nyai Surti. Sejauh suara terdengar, sembari meletakkan tangannya di dahi, nyai Surti memandangiku penuh tatap.
“Dari mana, mas?” Sapa nyai surti, dengan nada lebut sembari bercanda ria dengan si Kikuk.
“Alhamdulillah, pagi ini sepertinya aku tak akan dimarahi.” simpulku dalam pikiran.
“Dari Banyuwangi, nyai.” jawabku, sungkem.
“Monggo, masuk mas!.” Ajak nyai Surti.
“Enggeh siap, nyai.” Sahutku.
Diruang tamu, suasana tetap seperti biasanya, mistis, seram menakutkan.
“Ngapain ke Banyuwangi, mas?” Tanya nyai Surti, sembari membakar kemenyan.
“Ikut kegiatan workshop literasi, nyai.” Jawabku.
“Kegiatan macam apalagi itu?, kamu ini terlalu sibuk soal begituan, padahal sekitarmu lagi sakit dan pada sibuk membodohi dengan pembangunan citra-citra.” Nyai surti, mulai meninggi.
“Maksudnya, nyai?” Aku mulai tak jelas.
“Masih saja kau akrab dengan tololmu itu!” Bentak nyai surti.
“Aduh, ampun, nyai.” Responku, sungkem.
” Jean Baudrillard (Madzhab Frank froud, Jerman) Menyatakan, saat ini manusia tak lain hanya Symulacra, artinya manusia dibentuk oleh Citra, media, dan ruang-ruang hampa. Perjumpaan sudah terenggankan, dianggap tidak begitu penting, bahkan sama sekali tak penting. Persoalan apapun, kecil atau besar tak perlu lagi diselesaikan dengan pertemuan. Pun membikin persoalan, saat ini sudah sangat mudah sekali.” Sahut nyai surti.
“Lalu, nyai?” Aku semakin bingung.
“Ah, makin goblok aja kamu!” Nyai Surti menggebrak meja ukirnya.
“Oleh Jean Baudrillard, Manusia tak lagi dipandang masyarakat, tapi kerumunan (bukan ivindividulis). Sebab dirinya sudah terkerumuni, terkontaminasi dan dikuasai. Mereka bukan lagi mereka sendiri.” Jelas nyai Surti dengan suara menggema.
“Apa seperti gambar-gambar yang berjejeran di sepanjang jalanan itu, nyai?” Tanyaku, mengait-ngaitkan.
“Nah, itu kamu mulai nyambung. Olehnya, manusia mulai kehilangan sosiologikal, eksistensi, integritas. Seolah kemapanan terwakilkan oleh gambar-gambar itu. Padahal kemapanan dapat diraih tak segampang pampangan-pampangan itu, pun tak secepat doa-doa dalam film senetron. Itu tak lain hanya fatwa-fatwa bisu yang mati.” Terang Nyai surti.
“Bukankah, tampak fisik bagian dari representasi substansinya, nyai? bahkan banyak tersisip ayat-ayat qur’an loh di gambar itu.” Sahutku, nakal.
“Astaghfirullah, begituan itu yang membuatmu makin tolol.” Bentak nyai Surti menggebrak meja.
“Aduh, kena lagi, Ampun, nyai?” Jawabku, Keblinger.
“Ayat-ayat quran terlalu suci jika dipakai begituan dan dibenturkan dengan ilmu pengetahuan, apalagi memakainya dalam rangka simplifikasi (merendahkan/mengenyampingkan) realitas lainnya. Bukankah begituan itu yang justru jelas-jelas merendahkan kesucian (ayat-ayat)-Nya?” Nyai Surti, melotot tak terkontrol.
“Ampun, nyai. Lalu apa yang harus aku perbaiki, nyai?” Tanyaku.
“Afdholul ‘ilmi ilmul hal, wa afdholul ‘amali hifdzul hal, (Utamanya ilmu itu prilaku, utamanya pekerjaan menjanga prilaku itu) kata syekh Azzarnuji dalam kitab klasiknya (Ta’limul muta’allim). Jadi, tafsir-tafsir dan prilakumu itu perlu di-rekonstruksi ulang. Bilas sebersih mungkin kotoran-kotoran didirimu itu. Jaga, kemudian berprilakulah sebaik mungkin dan berbuatlah yang semestinya.” Nyai surti menggumam.
“Enggeh, siap, nyai. Berarti gambar-gambar itu jahat sekali ya, nyai? Bukankah dalam politik hal itu tak jarang dijumpai bahkan dianggap wajar?” Lanjutku, semakin mendalami.
“Pikiranmu itu yang jahat, goblok!. Bagaimana kau mampu memahami sesuatu kejahatan, sementara kejahatan didirimu saja tak kau sadari. Apalagi kau hanya berdasar pada anggapan-anggapan itu. Dasar goblok!” Nyai surti semakin ganas.
“Sendiko dawuh, nyai.” Aku, sungkem.
“Haduh, begini mas, Dalam politik, gambar gambar itu memang sengaja dibangun kekuatan sajak, untaian, mantra-mantra sakti dalam rangka simplifiakasi itu tadi. Sebab misi politik adalah menguasai. Semua, apapun itu pasti dipolitisir. Ditindihlah lawan-lawannya, dibuatnya babak belur. Bukankah, banyak kita jumpai, sebab gambar, para tuan-tuan itu saling kunci-mengunci, saling potong memotong, bahkan saling menjatuhkan sebelum masuk ring pertarungan?” Terang nyai Surti, meyakinkan.
“Enggeh, nyai. Kira-kira apa yang harus saya lakukan terhadap masyarakat, nyai?” Tanyaku, bersemangat.
“Lebih dulu tanya dirimu sendiri! Lalu terus edukasi dirimu dan sekitarmu. Masyarakat kita pemilih irrasional, bukan rasional. Mereka dikelabuhi. Pikiran mereka dihipnotis, dibius, dikuasai bahkan dibantai. Tak ubahnya mereka dibuat layaknya sebuah serial sinetron yang selalu memberikan kejutan-kejutan spontan, cepat dan seajaib mungkin.” Tutup nyai surti.
“Waduh, Sulit dan berat sekali rasanya, nyai?” Responku, mengeluh ragu.
“Berat, jika tak kau lakukan, tolol!. Bukankah, tuhanmu telah menyeru untuk selalu berbuat bersama-sama dan berkompetisi dalam kebaikan? Wa likulli wijhatin huwa muwalliha fastabiqul khoirot, ainama kanu yakti bikumullahi jami’an innallaha ‘ala kulli syai’in qodir. (Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 148). Jelas, bukan?” Nyai surti, ngelu.
“Enggeh, sampun jelas, nyai.” Jawabku.
“Dasar tolol. Sana pulang! Masih terlalu banyak halaman-halaman yang belum kau buka dalam kitab-kitabmu, lebih-lebih kitab yang didalam dirimu.” Nyai surti sambil mengibaskan telapak tangan tepat di depan tatapanku.
“Ampun, nyai.” Sahutku.
Akupun salaman, nyai Surti berbisik, “Ingat…! Politik itu main-main tapi serius, mas. Jadi jangan mau dibuat ribet oleh politik, kata Gusdur.” Hwakakakakak, nyai surti ketawa terbatuk-batuk.
Dengan langkan kaki mundur, aku pamit pulang. Aroma kemenyan nyai Surti masih kuat tercium seolah masuk menyusup sambil menyaksikan kepulanganku.

  • Tenggarang, 10 Maret 2018
Editor : Eko Nugroho.

GENEOLOGI POLITIK: DARI METODE KE HASRAT

Oleh: Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya, S.Ag, M.Si Penarukan, 13 September 1989 Dosen FISIP UNMAR Denpasar
Ilustrasi .sumber geoogle.com




Politik sebagai metode merupakan tata laku dalam mencapai tujuan kehidupan bersama dengan mekanisme sosio-legal. Partisipasi setiap masyarakat merupakan keniscayaan dalam panggung politik dengan posisi dan fungsi masing-masing, demi

tercapainya tujuan hidup. Secara utopis karena menyangkut tujuan kehidupan bersama, politik menjadi metode yang mulia jauh dari tindak kekotoran dan kenaifan. Para aktivis politik yang mendapatkan kedudukan mulia sebagai pengantar pencapaian tujuan bersama diberi label “yang Terhormat”

“pelayan rakyat” “penyambung lidah rakyat” dan beberapa konfigurasi diksi dengan konotasi penghormatan dan pengabdian.
Ditengah institusi politik mereka yang berjuluk “yang Terhormat” berada pada

garda depan sebagai pengawas amanah rakyat mengawasi para pekerja Rakyat yaitu Pemerintah.

Produk politik lain, diberi ruang otonom dalam memberikan rasa adil dan aman bagi partisipan politik menjaga wilayah privasinya. Romantisme teoritis ini memberikan kesan kapada kita begitu adilnya jalan tersebut tanpa tersentuh kekerasan dalam tataran subtil maupun subversive.


Sejarah mencatat mekanisme politiklah Negara Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, dialog marathon berbagai pihak (BPUPKI, PPKI) memberikan kesan bahwa komunikasi politis antara pihak penjajah dengan Soekarno-Hatta dkk memberikan dampak yang progresif dalam memenuhi keinginan rakyat, termasuk desakan Kaum Muda menambah api

semangat kemerdekaan. Pembentukkan dasar Negara dan lembaga-lembaga Negara sebagai simbol eksistensi, kedaulatan Negara juga berakar dari proses politik, disini politik dianggap sebagai cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan hidup

bersama. Ketika Negara telah menemukan modal kultural, modal sosial, modal financial dan intelektual dalam menjalankan roda pemerintahan, politik tidak hanya dipandang

 sebagai metode tetapi bergerak menjadi mesin, tidak lagi hanya cara tetapi motor untuk mobilitas. Mekanisme politik sebagai penggerak perjalanan bangsa yang masih muda dengan berbagai problematikanya.

Berjalannya tugas dan wewenang lembaga Negara baik dalam maupun luar negeri, adalah tugas politis, pembentukan angkatan bersenjata, polisi dan reformasi tugas tentara Negara adalah proses menuju

mobilitas. Politik otonomi daerah memberikan ruang yang longgar kepada setiap daerah dari pegangan pusat dan secara mandiri dengan berbagai potensinya membangun wilayah dan manusianya, hal tersebut menginginkan transfer energi

Negara dari sentral ke desentral agar mobilitas jauh lebih tinggi, cepat dan maju.
Diskontuinitas atau retakan sejarah terjadi ketika menjamurnya partai politik dengan berbagai ideologi dan aspirasi

(uniknya ideologi yang seyogyanya bersifat tertutup, di Indonesia partai dengan Ideologi agama dapat berkoalisi dengan partai nasionalis, dapatkah disebut partai politik di Indonesia memiliki karakter ideologi cair

atau tidak berideologi sama sekali demi mewujudkan tujuan kelompok dan golongan
begitu juga mewabahnya golongan masyarakat elit ingin menjadi wakil rakyat. Entah memang ingin bekerja untuk rakyat dan mengawasi pekerja rakyat namun hal ini tidak secara garis lurus sesuai dengan

mental, moral, etika, dan tingah laku sebagian politisi. Dari kabur ke luar negeri dengan berbagai masalah korupsi, tertangkap di satu kamar hotel dengan pasangan yang tidak sah, tidur dan menonton film porno diruang sidang.

Berkelahi, bahkan diduga juga ada transaksi politik hitam melalui tarik ulur dan tukar tambah RUU (rancangan Undang-Undang). Tidak berhenti sampai disana tindakan korup, manipulasi kewenangan, seakan menambah maraknya oknum politisi dengan kewenangan politiknya ingin memakai kekuasaan untuk menambah berbagai kapital. Politik kini identik dengan kekuasaan dan modal.


Penggunaan modal ekonomi (Uang dan berbagai kekayaan) dan modal kultural (kualifikasi akademis, kepercayaan masyarakat)  untuk bertarung dalam pasar politik atau medan politik dengan berbagai mekanisme membentuk Habitus politik.


Pertarungan ini lebih kepada memperebutkan pelbagai kuasa, dan mempertahankannya dalam kelompok politik, dengan berabagai cara.

Termasuk membentengi diri dengan produk legal (UU) dan pelbagai wacana yang disiarkan untuk mempertahankan kekuasaan, sehingga terminologi doxa dan hegemoni menemukan relevansi praktisnya.


Perbuatan oknum politik dalam perebutan dan pelanggengan kekuasaan dengan berbagai cara termasuk juga dengan cara-cara manupulatif dan korup dapat didekonstruksi secara terminologis, terminologi “yang Terhormat” dari posisi yang mewakili aspirasi rakyat menjadi “yang berkuasa” yaitu dia yang diberikan kekuatan oleh rakyat bukan kewenangan, kendati prosesnya demokratis.


Jadi berbagai modal yang dipertaruhkan adalah untuk memperoleh kekuatan, guna mendapatkan kekuasaan.
Editor : Eko Nugroho

Paradigma komunikasi



         Dokumen Foto.Bibit Penulis Buku                             Srategi public Relations.




PARADIGMA KOMUNIKASI
Komunikasi adalah suatu instrumen atau alat yang penting dalam rangka menggali dan memperoleh informasi yang ada di sekeliling kita.
Komunikasi (etimologi) berasal dari bahasa Inggris, communication dan bahasa latin communis yang berarti sama, memiliki makna yang, atau suatu pengertian bersama, dengan maksud untuk mengubah pikiran, sikap, perilaku, penerimaan, dan melaksanakan apa yang diinginkan oleh komunikator. (Widjaja. 2010:8).
Masih menurut Widjaja, komunikasi dapat berjalan dengan baik jika didukung oleh komponen-komponen fundamental yang menjadi syarat terjalin dan terjadinya komunikasi, yaitu berupa source (sumber), communicator (komunikator), message (pesan), communican (komunikan), effect (efek atau dampak), dan channel (saluran).
Source atau sumber dalam konteks komunikasi merupakan dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan sebagai proses komunikasi. Sumber menjadi penting dalam rangka memperkuat pesan yang disampaikan itu. Ia dapat berupa manusia, lembaga, buku, dan lain sebagainya yang dapat melegitimasi pesan yang dimaksudkan.
Komunikator atau penyampai pesan, merupakan individu ataupun kelompok orang yang bertindak sebagai pengirim pesan kepada komunikan (penerima pesan) dalam proses komunikasi. Dengan kata lain, komunikator adalah pihak yang berinisiatif untuk menjadi sumber (source) dalam sebuah interaksi-komunikasi. Seorang komunikator tidak hanya berperan dalam menyampaikan pesan kepada penerima, tetapi juga memberikan response atau tanggapan, serta menjawab pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh penerima (yang terkena dampak dari proses komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung).
Message (pesan) adalah keseluruhan dari segala hal yang dikomunikasikan (disampaikan) oleh komunikator.
Channel atau saluran komunikasi adalah media yang digunakan dalam melakukan komunikasi, panca indra adalah contohnya. Secara umum, channel diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu channel formal dan channel informal.
Komunikan (penerima pesan) sebagai terdampak dalam proses komunikasi diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu komunikan personal, kelompok, dan massa.
Effect atau dampak sebagai hasil akhir dari suatu proses interaksi-komunikasi dideskripsikan sebagai sikap dan tingkah laku penerima pesan. Dalam hal ini, komunikator jelas mengharapkan effect tertentu atas proses komunikasi, namun komunikan belum tentu akan memahaminya dengan sesuai, maka effect bersifat relatif, sesuai perspektif komunikan dan komunikatornya.
Louis Forsdale mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu sistem dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan menggunakan sinyal, yang beroperasi sesuai aturan-aturan tertentu.

“Communication is the process by which a system is established, maintained, and altered by means of shared signals that operate according the rules.”

Mendukung pernyataan diatas, Wilbur Schramm menyatakan bahwa komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process).
Melalui suatu komunikasi, sejatinya kita sedang berusaha untuk menjalin suatu kebersamaan dan kesamaan (commonnes) dengan seseorang (komunikan), yaitu berupaya menumbuhkan suatu pemahaman bersama terhadap sesuatu. Hal-hal yang hendak dibagikan dan dijadikan pemahaman bersama itu dapat berupa berbagai informasi, ide, atau sikap, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, sebagai contoh, bahwa melalui tulisan ini saya (sebagai komunikator) tengah berusaha untuk berkomunikasi dengan para pembaca (sebagai komunikan) melalui media berupa buku untuk berbagi sesuatu, menyampaikan ide, mengutarakan pandangan saya bahwa hakikat sebuah komunikasi sejatinya adalah usaha untuk membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu.